Kamis, 18 Maret 2010
Entah terpandang sebuah fiktif atau fakta gejala ini?
Ruang ini memang sangat kontradiktif, menumbuhkan distingsi positif dan negatif tapi seantero distingsi itu tak lagi memberi profit. Meskipun positif dominatif, bagaimana mampu membenih positif jika kepala hipokrit ini eksis berakal entrepreneur "koplo". Kau bangga dengan persetujuan paksa pada bawahanmu serupa retrospeksi jaman penjajahan belanda maupun jepang. Memang tak berguna tak bertuah jika yang berkuasa seorang tiran seperti kau.
Kau buat suatu stipulasi empat mata dengan para wali yang hanya ingin mengejar label kualitas pandangan. Kau bandrol harga setiap kayu membuah bangku dalam ruang termaksimalkan empat puluh jiwa, harga setinggi cakrawala, resiko sedalam perut bumi. Metode afirmatif dengan bujuk rayu, kau beri iming-iming fasilitas setaraf internasional penuh privilese. Tanpa tendesi curiga tengik para wali konfirmasi stipulasimu.
Akhirnya, semua berjalan melampaui terjal hari penerimaan, melampaui hitungan semester tanpa elaborasi perubahan kualitas ruang yang signifikan. Semua hanya stipulasi busukmu yang terangkat di atas bandosa janji dan siap menyatu dalam tanah kotor perjudian. Kini pun mereka yang bersetuju dan bersetubuh dalam konspirasimu - penuh acuh - hidup tenang. Solider para wali setengah tak berkutik jika mengenang masa manis terdahulu. Konstelasi lembaga ini pasti hancur dalam bila kau eksis seperti ini, digantikan pun kau tak mau, mau apa kau ini?
Lebih baik memberontak! Tak mundur dihadang dinding konstabelmu, anjing!!!
Krishna Ramdhannanda,
Salatiga, pertengahan Maret 2010.
Minggu, 24 Januari 2010
Bangkit Dari Mati Suri
Setelah sekian lama terlelap dalam tidur panjang, nampaknya Korps Bawahtanah Salatiga (KBS) memang sudah seharusnya bangun dan mengasah taji. Masa hibernasi yang memakan waktu hampir sepuluh tahun hampir saja membuat scene underground pertama di Salatiga ini hilang tertelan jaman. Berbagai faktor x secara berlahan menggerogoti eksistensi KBS baik di dalam kota, apalagi luar kota. Penggerogotan eksistensi oleh waktu dan kondisi tak pandang usia. Tua, muda, saatnya mati, ya mati. Paling tidak mati suri.
Sejarah panjang dinamika scene di Salatiga memang mencengangkan. Bagaimana bisa sebuah kota kecil yang banyak orang meganggap bahwa kota ini adalah kota percobaan nuklir (saking sepinya) bisa memiliki lebih dari 10 scene musik. Itupun baru yang tercatat. Yang belum tercatat? Walahualam.
Membuat scene musik memang tak sesulit membuat PARPOL. Tak perlu registrasi, tak butuh jabatan struktural (kebanyakan kasus), tak butuh banyak massa, tak butuh banyak uang, tak butuh bla bla bla.. asal kuantitasnya lebih dari 1 orang, sah-sah saja membuat dan menklaim diri sebagai scene baru (iseng juga kalo buat scene cuman sendirian). "Wah, sore2 ga ada kerjaan...enaknya ngapain ya ma pren? Buat scene baru yukzz??" Ma pren menjawab, "Hayuxx..bikin scene hardcore, isinya penggemar berat Lamb of God, pokok e metal!". .......................%@^@&#*#(#
Tenang saja. Percakapan itu hanya fiktif belaka. Tidak separah itu scene di Salatiga.
Tapi memang terkadang membuat scene tak menutut intelektualitas sosial (dalam konteks scene bawahtanah) dan musik yang tinggi. Punya massa, punya tempat nongkrong, punya waktu, dan punya baju dan clana hitam, kuning, hijau, atau warna apalah, sudah sangat cukup untuk menklaim diri sebagai scene musik baru. Extremnya, persetan dengan genre, roots, movements, and attitude. Yang penting ngumpul, punya band, jadi scene. Mudah berdiri, mudah bercerai.
Tidak ada yang harus disalahkan. Fenomena diatas adalah efek dari pemikiran demokrasi yang mana menghargai seluruh pemikiran dan hak untuk mengutarakan pendapat. Terlebih lagi ditambah hantaman media yang sangat bebas, luas, dan tak bersekat, semakin menjadilah.
Pertengahan tahun lalu (09), KBS kembali merangkak, berharap masih bertaji. Pengumpulan dan pendataan kembali anggota menjadi agenda pertama. Menuai kontroversi baik internal maupun external, tak mengapa. Regenerasi - kaderisasi harus dilakukan. Hasilnya? kita lihat nanti. Belum bisa dipastikan. Semoga saja KBS masih berpondasi kokoh, pula scene-scene lain di Salatiga. Tua tak selalu benar dan muda tak selalu lebih baik. Apapun tak menjamin apapun. (gpa)